BILLING NOMOR 13

Di luar masih gerimis, sisa hujan yang terus mengguyur sedari sore. Ren hanya bisa menatap lesu pada billing nomor tiga belas yang entah kapan akan selesai. Jika saja tidak ada pengunjung pastinya dia sudah menutup warnet dari beberapa jam yang lalu. Hari pertama di Minggu kedua sejak dia bekerja paruh waktu di sela-sela kesibukan kuliah, tidak disangka shift malam pertamanya akan semembosankan itu.

Tidak ada siapa pun di sana kecuali dia dan satu-satunya pelanggan yang sudah datang sejak siang. Entah apa yang sedang dikerjakan oleh orang itu, Ren tidak begitu tertarik untuk mencari tahu.

“Tek … tek … tek.”
Terdengar suara seperti wajan yang ditabuh di luar sana, benar saja seorang pedagang nasi goreng keliling kebetulan lewat. Ren langsung bergegas keluar, sambil menyambar sebuah payung yang tergeletak di dekat pintu.

“Nasi goreng, Mas?” tanya pedagang tersebut begitu Ren sudah dekat.
“Iya, Pak. Satu aja dibungkus, agak pedas dikit,” sahut Ren singkat.
“Masnya belum lama kerja di warnet ini, ya? Kayaknya saya baru kali ini lihat, biasanya yang jaga lain.”
Ren hanya mengangguk sembari mengiyakan, lalu mereka mulai mengobrol hal-hal ringan sambil menunggu nasi goreng siap.

“Nggak ada yang aneh-aneh, kan? Maksudnya, itu … bukannya saya mau nakut-nakutin Masnya, tapi kadang ada pengunjung yang katanya dari alam seberang. Makanya yang kerja di sini jarang ada yang bertahan lama.”
“Ah yang bener, Pak. Masa sih, ada kejadian kayak gitu?” selidik Ren karena merasa penasaran.
“Kalo kata beberapa orang yang sebelumnya bekerja di sini sih, seringnya pas hari hujan dan warnet sepi, biasanya ada pengunjung yang betah main sampai dini hari. Anehnya, pengunjung itu pasti memakai billing nomor tiga belas,” ucap penjual nasi goreng itu sambil setengah berbisik.
“Ah, yang bener, Pak. Bapaknya pasti bercanda, kan?”
“Iya itu sih terserah Masnya aja, mau percaya apa nggak. Meski memang cuma main doang sampai hampir subuh dan nggak ngapa-ngapain, tapi kan tetep aja ngeri. Kata yang kerja sebelumnya, pengunjung itu mukanya pucat, tatapannya kosong dan jarang banget mau ngomong. Kabarnya sih arwah gentayangan yang dulu meniggal di billing warnet karena kebakaran.”
“Kebakaran, yang bener Pak?” timpal Ren sambil berusaha terlihat biasa saja.
“Saya kurang tahu detailnya Mas, itu udah lumayan lama, pas warnet ini baru buka,” ujar bapak-bapak penjual itu sambil memberikan sebungkus nasi goreng yang barusan siap. “Iya, pas … terima kasih, Mas.”

Ren agak ragu dengan apa yang dia dengar barusan, meski entah bagaimana apa yang dia alami hari ini benar-benar persis seperti yang dikatakan oleh penjual tadi.

“Bodo amatlah, paling bapak-bapak tadi cuma bercanda,” gumam Ren sembari membuka bungkusan nasi goreng yang masih mengepulkan asap.

“Jajan nasi goreng lu? Bukan dari penjual keliling yang orangnya agak tinggi, rambut agak ikal terus logatnya medok, kan?” tanya Liu, anaknya pemilik warnet yang baru kali ini Ren bertemu langsung dengannya. Berkat foto yang dipajang di atas pintu, Ren bisa langsung tahu jika laki-laki yang kini berdiri di depannya adalah anak dari pemilik warnet.

Ren nyaris tersedak karena kaget, buru-buru diambilnya air mineral kemasan yang sisa seperempat di sudut meja.
“Memangnya kenapa Bang?” tanya Ren sambil menata napasnya.
“Bokap gue belum pernah cerita ya? kalo dulunya ada pedagang nasi goreng keliling yang meninggal karena kecelakaan, tepat di depan sana. Kalo kebetulan ada penjual nasgor keliling yang punya ciri-ciri kayak gue bilang tadi, mending jangan beli, noleh juga jangan!”
“Ah masa sih, Bang?”
Ren mulai panik, tapi dia masih bisa menyembunyikan ekspresinya. Entah mana cerita yang benar, semoga dua-duanya cuma cerita iseng.

“Iya serah lu dah, percaya apa kagak. Ngomong-ngomong gue ke belakang dulu ya, itu kalo ntar pengunjung di billing tiga belas udah selesai langsung tutup aja nggak papa.”

menatap Liu yang pergi ke belakang dengan raut wajah bingung. Ciri-ciri dari pedagang tadi memang persis seperti yang dijelaskan barusan dan saat Ren mengingat-ingat lagi kejadian barusan, anehnya dia tidak bisa mengingat dengan jelas wajah dari pedagang keliling sebelumnya.

“Nggak mungkin, kan?” gumamnya sambil melihat kertas pembungkus nasi di tempat sampah.

Ren menghela napas lega, lalu sedikit tertawa pada akhirnya. Bisa-bisanya dia khawatir jika sisa nasi di kertas tersebut akan berubah menjadi serangga atau hal lain seperti di film-film horor.

Ren buru-buru melihat jam di monitor komputer, saat terdengar suara tanda komputer client telah di-shut down. Dia menghela napas lega, jam setengah dua belas kurang, akhirnya Ren bisa istirahat.

Sesaat kemudian dia teringat dengan cerita dari pedagang nasi goreng sebelumnya, tiba-tiba Ren agak cemas ketika suara langkah kaki terdengar dari billing nomor tiga belas.

Refleks saja dia menelan ludah, perempuan yang tengah berjalan ke arahnya memang agak terlihat pucat. Dalam hati dia ingin memastikan dengan melihat ke arah lantai, tapi diurungkan karena merasa tidak enak.

“Maaf ya Mas, saya agak lama mainnya. Si Bapak sehat-sehat aja kan?” tanya perempuan itu dengan nada datar.
“Si Bapak?” timpal Ren karena belum paham.
“Itu … maksudnya yang punya warnet.”
“Oh … kelihatannya sih sehat-sehat aja, tapi si Bapak mukanya emang kayak gitu sih, jadi nggak begitu kelihatan.”
“Kayak dingin, murung dan minim ekspresi gitu, kan? Padahal dulunya si Bapak ramah banget, terus murah senyum loh. Bapak dulu sering mampir ke warnet, nemenin yang masuk shift malam. Setelah kejadian itu hampir nggak pernah ke warnet sama sekali.”

Ren mengernyitkan dahinya, masa sih, orang yang dulunya ramah dan murah senyum sekarang terlihat sebaliknya. Cerita yang barusan dia dengar juga kesannya terlalu mengada-ada. Jelas-jelas Bang Liu baru saja masuk ke belakang tadi.

“Bapak emang jadi gitu, Mas … tepatnya setelah anaknya meninggal gara-gara warnet ini kebakaran dan kebetulan dia lagi tidur setelah jaga malam,” papar perempuan itu sambil melihat ke arah foto yang dipajang di atas pintu.

“Ini Mas, pas ya?” tanya perempuan itu sambil meletakkan selembar uang di atas meja.

Ren merasa pastinya ada yang salah, tiga orang dengan cerita yang saling berlawanan. Lebih masuk akal jika dia sedang dikerjai, tapi bercanda dengan membawa kematian dirasa olehnya sudah berlebihan. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah memastikannya sendiri. Sambil menata napasnya, Ren berjalan ke ruang belakang dengan pelan.

“Kok sepi, apa Bang Liu udah tidur di kamar belakang?” gumamnya sekadar mengurangi rasa takut.

Tubuhnya serasa membeku saat melihat kamar di belakang justru digembok dari luar.

“Bang Liu … jangan becanda lah, nggak lucu,” ujar Ren dengan suara bergetar. Anehnya bahkan di dapur dan toilet tidak ada siapa-siapa.

SELESAI

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai